Pada tahun 1624 merupakan tahun dimana pengangkatan Sultan Agung menjadi Susuhunan, beliau memiliki keinginan untuk membangun sebuah makam di atas bukit untuk dirinya beserta keluarganya bila meninggal. Kemudian Sultan Agung memilih pembangunannya di atas bukit, karena pada gelar Susuhunan/Sunan memiliki arti yang dijunjung-junjung, yaitu gelar yang hanya biasa di berikan kepada para wali yang setelah wafat, kemudian jenazah mereka akan dikebumikan di atas bukit sebagai tempat yang dianggap suci. Dalam Babad Sengkala awalnya Sultan Agung ingin membangun makamnya di Mekkah, yaitu didekat kuburan para Nabi disebelah barat Masjid. Sultan Agung, sebagai raja besar pemimpin Agama, ia selalu beribadah Sholat Jum’at di Mekkah. Pada suatu hari setelah selesai beribadah, beliau menemui Imam Supingi untuk menyampaikan keinginannya tersebut, akan tetapi permintaan tersebut di tolak oleh Imam Supingi, dengan alasan bahwa Sultan Agung adalah keturunan manusia dengan Jin atau sebangsa dewa, sedangkan para nabi yang dimakamkan ditempat itu, mereka adalah orang-orang suci. Penolakan tersebut membuat Sultan Agung merasa kecewa dalam hati. Dengan adanya penolakan itu Sultan Agung kemudian menemui istrinya yaitu Ratu Kidul dan menyampaikan kekecewaannya. Setelah mendengarkan penuturan Sultan Agung, Ratu Kidul segera mengirimkan dua patihnya ke Mekkah untuk merusak negeri itu dengan menyebar wabah.
Setelah itu, Imam Supingi menyampaikan keluhan akan apa yang terjadi pada negerinya kepada Sunan Kalijaga yang saat itu beribadah Jum’at di Mekkah. Imam Supingi meminta maaf kepada Sultan Agung melalui Sunan Kalijaga dan sebagai tanda baktinya tersebut, Imam Supingi menitipkan sehelai surban sutera hitam, bekas milik Nabi Muhammad. Akhirnya Sultan Agung diijinkan untuk memilih tempat sesuai dengan yang dikehendakinya. Namun disamping itu Sunan Kalijaga menyampaikan pendapatnya perihal pembangunan makam, bahwa lebih baik Sultan Agung membangun makam di Jawa saja, sebab beliau seorang raja besar yang akan menjadi raja terhomat ataupun dihormati bagi rakyat. Sultan Agung pun menerima pendapat itu dan setuju.
Di saat itu pula Sunan Kalijaga mengambil segumpal tanah dari Mekkah, dan di saat kembalinya di tanah Jawa ia melemparkan tanah tersebut. Pada saat itu juga paman Sultan Agung yakni pangeran Juminah melihat lemparan tanah itu bercahaya. Pangeran Juminah nampaknya tahu bahwa tanah itu berasal dari Mekkah, maka ia mengikuti jatuhnya tanah yaitu di Girilaya. Di saat itu Pangeran Juminah menyampaikan keinginannya untuk dimakamkan ditempat itu apabila ia meninggal. Sultan Agung pun mempersilahkan pamannya itu memakai makam di Girilaya. Tidak berselang lama Pamannya itu meninggal dan dimakamkan ditempat itu. Karena sudah didahului pamannya dan karena pertimbangan tempat itu terlalu kecil untuk Sultan Agung dan keluarganya, maka Sultan Agung memutuskan untuk mencari tempat lain yang dirasa sesuai untuk pembangunan makamnya.
Kemudian Sunan Kalijaga melemparkan lagi segumpal tanah ke arah tanah Jawa yang jatuh di pegunungan Merah (Imogiri). Tanah ditempat itu tampak tandus dan kering. Setelah melihat itu Sunan Kalijaga menancapkan Cis-nya (tombak pendek yang ujungnya melengkung) pada batu, yang kemudian batu itu terbelah dan keluarlah air. Pada akhirnya tempat itu dijadikan sebagai makam Sultan Agung dan keluarganya. Pembangunan makam itu pada tahun Jawa Jimakir 1554 (1632 Masehi). Gaya arsiktektur Makam ini adalah Makam berteras dan arsiteknya Kyai Tumenggung Citrokusumo.
Demikian Ulasan singkat terkait Pembangunan Makam Imogiri yang bisa Sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf, untuk lebih lengkapnya bacalah buku Babad Sangkala. Sekian dan terimakasih.